Jumat, 29 Juni 2012

SEJARAH SALAT TARAWIH DAN HIKMAHNYA


> sejarah salat tarawih dan hikmahnya
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [2012] dalam kitab Shalatut Tarawih dan Muslim [761] dalam kitab Shalatul Musafirin. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan).
Dari Abu Salamah bin Abdirrahman radhiyallahu ‘anhu, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Al-Bukhari [1147] dan Muslim [738]).
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Al-Bukhari [1138] dan Muslim [764]).
Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari [4/123].
Ibn Hajar al-Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (Tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah [2/9635]).
Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjabat khalifah, beliau melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjama’ah. Kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jama’ah dan dipilihlah Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu sebagai imam. (Lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).
Al-Kasaani rahimahullahu mengatakan, “Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyamu Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.” (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [2/9636]).
Ibn At-Tin rahimahullahu dan lainnya berkata, “Umar menetapkan hukum itu dari pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang shalat bersama beliau pada malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka, karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi mereka. Tetapi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan shalat.”
Mengenai penamaan Tarawih (istirahat), karena para jama’ah yang pertama kali berkumpul untuk qiyamu Ramadhan ber-istirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 raka’at ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 raka’at lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul Arab [2/462] dan Fathul Bari [4/294]).
Hukum Shalat Tarawih
Menurut Imam An-Nawawi rahimahullahu, yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat Tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat Tarawih hukumnya mustahab (sunnah). (Syarh Shahih Muslim [6/282]). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat Tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim [5/140] dan Al-Majmu’ [3/526].
Al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullahu memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat Tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat Tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari [4/295]).
Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat Tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan.
Keutamaan Shalat Tarawih
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyamu Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Diriwayatkan Al-Bukhari [1901] dalam kitab Ash-Shaum dan Muslim [760] dalam kitab Shalatul Musafirin).
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud [1375] dalam kitab Ash-Shalah; At-Tirmidzi [806] dalam kitab Ash-Shiam; An-Nasa’i [1605] dalam kitab Qiyamul Lail; dan Ibn Majah [1327] dalam kitab Iqamatush Shalah. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih).
Berkenaan dengan hadits di atas, Imam Ibn Qudamah rahimahullahu mengatakan, “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (Tarawih).” (Al-Mughni [2/606]).
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Ibn Abdil Barr rahimahullahu mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah(yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At-Tamhid [21/70]).
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu Subuh, lakukanlah shalat Witir satu raka’at.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Begitu pula anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbanyak sujud dalam sabda beliau, “Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim [489]).
Shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat Tarawih ada beberapa pendapat. Ada sebagian ulama yang membatasinya dengan 11 raka’at. Mayoritas ulama mengatakan shalat Tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk Witir).
Ulama lainnya mengatakan lagi bahwa shalat Tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk Witir. Juga ada yang mengatakan bahwa shalat Tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk Witir. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan Witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik. Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al-Fatawa [22/272]).
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Tarawih
Niat Shalat
Niat shalat Tarawih, sebagaimana juga shalat-shalat yang lain cukup diucapkan di dalam hati, yang terpenting adalah niat hanya karena Allah Ta’ala semata dengan hati yang ikhlas dan mengharapkan ridha-Nya, apabila ingin dilafalkan jangan terlalu keras sehingga mengganggu Muslim lainnya.
Niat shalat Tarawih 2 raka’at adalah: “Ushalli sunnatat taraawiihi rak’ataini (ma’muman/imaaman) lillahi ta’aalaa” (Aku niat shalat Tarawih dua rakaat (menjadi ma’mum/imam) karena Allah Ta’ala).
Dan apabila mengerjakan shalat Tarawih 2 kali 4 raka’at masing-masing dengan sekali salam setiap selesai 4 raka’at, maka niatnya disesuaikan menjadi “arbaa raka’ataini”.
Memanjangkan Bacaan Shalat
Setelah penjelasan mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berdiri yang agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat Tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim [756]).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat
mukhtashiran.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama menafsirkan ikhtishar (mukhtashiran) dalam hadits ini adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Maram, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim [49/3]).
Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang disyari’atkannya istirahat setiap melaksanakan shalat Tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun
temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyari’atkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al-Inshaf [3/117]).
Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Al-Bukhari [3569] dan Muslim [738]).
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqh berpendapat bahwa shalat Tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena Tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam.
Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat Tarawih untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at. Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [2/9640]).
Lebih Utama Mana Shalat Tarawih Berjama’ah atau Sendiri?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjama’ah. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Imam Ahmad (Masaailul Imam Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibn Qudamah dalam Al-Mughni [2/605] dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf [2/181] serta sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim [6/282].
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath [4/297]) dan pendapat ini pula yang dipegang Syaikh Al-Albani rahimahullahu, beliau berkata, “Disyari’atkan shalat berjama’ah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan ia (shalat Tarawih dengan berjama’ah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 19-20).
Selanjutnya beliau berkata, “Apabila permasalahan seputar antara shalat (Tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjama’ah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (Tarawih) dengan berjama’ah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26).
Ulama-ulama Hanabilah (pengikut madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat Tarawih. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah [2/9633]).
Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Imam An-Nawawi. (Syarh Shahih Muslim [6/282]).
Dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih).
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat Tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjama’ah. (Nashbur Rayah [2/156] dan Syarh Shahih Muslim [6/282]).
Pengikut Imam Malik, bertanya kepadanya: Bagaimana beliau melakukan Qiyamul Lail di bulan Ramadhan, lebih disukai yang mana berjama’ah dengan orang banyak atau dilaksanakan sendiri di rumah? Imam Malik menjawab: Kalau dilaksanakan sendiri di rumah itu kuat dan lama. Saya lebih suka. Tetapi kebanyakan kaum Muslimin tidak kuat dan malas melaksanakan shalat sendiri di rumah.
Imam At-Tirmidzi dan Imam Rabi’ah melaksanakannya sendiri di rumah begitu juga ulama-ulama lain.
Do’a Setelah Shalat Tarawih
Tidak ada do’a khusus yang dianjurkan untuk dibaca setelah shalat Tarawih yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ada setelah shalat Witir sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat Witir (pada raka’at pertama) membaca sabbihisma rabbikal a’la dan pada raka’at kedua membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun dan pada raka’at ketiga membaca qul huwallahu ahad, beliau tidak melakukan salam kecuali pada raka’at terakhir. Dan setelah salam beliau mengucapkan subhanal malikil quddus, tiga kali.” (HR. An-Nasa’i [1683]).
SALAM PANGERAN BORNEO'S "MOGA MANFAAT"
ALL IS WELL